Butonpos.com, Koholimombono —Desa Koholimombono kembali menjadi sorotan setelah hasil musyawarah adat yang digelar baru-baru ini menjatuhkan sanksi adat kepada dua warganya, yakni La Harimani dan Wa Amnia. Keputusan tersebut diambil oleh PARABELA La Amina, dengan didampingi La Mani sebagai Waci (wakil pengurus adat) dan La Jumaali sebagai Imam Desa Koholimombono.
Permasalahan ini bermula dari sengketa tanah atau kebun milik La Harimani dan Wa Amnia yang dihibahkan oleh pihak Syara Desa Koholimombono kepada pemerintah daerah tanpa sepengetahuan mereka. Tanah tersebut sebenarnya merupakan warisan dari orang tua mereka, yang dahulu menjabat sebagai Imam Tua Desa Koholimombono, dan telah dihibahkan secara sah kepada La Harimani dan Wa Amnia sejak tahun 1999.
Lebih jauh lagi, tanah ini bukanlah lahan baru bagi keluarga La Harimani dan Wa Amnia. Orang tua mereka telah mengolah lahan tersebut sejak tahun 1971, ketika wilayah ini masih bernama Dusun Liwumpatu, bagian dari Desa Holimombo. Pengelolaan tanah yang berkelanjutan selama lebih dari lima dekade ini menunjukkan keterikatan sejarah dan hak pengelolaan yang kuat atas tanah tersebut. Pada tahun 2019, tanah tersebut telah disertifikatkan atas nama La Harimani dan Wa Amnia melalui Program Reforma Agraria Nasional (Porona).
Namun, meskipun status hukum kepemilikan tanah sudah jelas, pihak adat tetap menjatuhkan sanksi adat yang dinilai berat kepada keduanya. Sanksi adat tersebut meliputi:
1. La Harimani dan Wa Amnia tidak diperbolehkan beradaptasi atau bergaul dengan masyarakat sekitar.
2. Mereka dilarang berjualan dalam lingkungan masyarakat desa.
3. Barang siapa dari masyarakat desa yang ditemukan beradaptasi atau berinteraksi dengan mereka akan mendapatkan teguran adat.
Bukan hanya itu, La Harimani dan Wa Amnia juga terpaksa harus keluar dari pekerjaan mereka di sentral IKN Lipacu. Keputusan adat yang sangat membatasi ruang gerak mereka, telah mengakibatkan dampak ekonomi yang sangat besar. Dengan larangan berjualan dan berinteraksi dengan masyarakat, keduanya terpaksa kehilangan mata pencaharian yang sangat penting bagi kehidupan mereka dan keluarga.
Sanksi adat ini sudah berlangsung selama satu tahun, dan meskipun mereka berusaha untuk mencari keadilan, masalah ini belum mendapatkan penyelesaian yang memadai. Ketidakadilan yang mereka rasakan semakin memuncak dengan setiap hari yang berlalu tanpa ada langkah konkrit dari pihak adat atau pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Kami, keluarga La Harimani dan Wa Amnia, sebelumnya menganggap bahwa permasalahan ini sudah selesai, karena tidak ada lagi pertemuan atau keputusan terkait sanksi adat tersebut. Namun, pada tanggal 29 November 2024, sekitar pukul 14:00 WITA, rapat terkait sanksi adat tersebut dimulai kembali. Hal ini tentunya menambah ketegangan dan kecemasan di kalangan keluarga kami, yang merasa sudah diperlakukan secara tidak adil.
Sanksi tersebut dinilai tidak hanya mencederai nilai kemanusiaan, tetapi juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, khususnya Pasal 27 Ayat 2, yang menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, serta Pasal 28D Ayat 1, yang menjamin kepastian hukum yang adil bagi semua orang. Selain itu, sanksi ini dianggap melanggar hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28G Ayat 1, yang memberikan hak kepada setiap orang untuk bebas dari perlakuan diskriminatif.
“Sejak 1971, keluarga kami telah mengelola tanah ini. Orang tua kami, yang juga merupakan imam tua saat itu, menyerahkan tanah ini kepada kami pada tahun 1999. Namun, tanah ini dihibahkan tanpa sepengetahuan kami, dan ketika kami mempertahankan hak kami, malah dikenai sanksi adat yang tidak manusiawi ini. Sanksi tersebut jelas bertentangan dengan hukum negara,” ungkap La Harimani.
Keputusan ini menuai kritik tajam dari berbagai pihak di Desa Koholimombono. Banyak warga menilai keputusan tersebut mencederai nilai keadilan, hukum, dan kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi dalam musyawarah adat.
“Adat itu seharusnya menjadi alat untuk menjaga keharmonisan masyarakat, bukan menjadi alat untuk menghukum tanpa dasar yang adil. Apalagi, keputusan ini jelas bertentangan dengan konstitusi negara kita,” ujar salah satu warga yang menolak disebutkan namanya.
Kasus ini menjadi pengingat penting bahwa proses adat harus dijalankan dengan mengedepankan nilai-nilai keadilan, sejarah, hukum yang berlaku, dan kemanusiaan. Keputusan adat yang bertentangan dengan UUD 1945 tidak hanya mencederai kepercayaan masyarakat terhadap lembaga adat, tetapi juga melanggar hak-hak dasar warga negara yang dilindungi oleh konstitusi.
Redaksi Butonpos – Samsul